Smartphone | Gadget |Android | Tips Terbaru | Coretan

GURU DIBAWAH BAYANG - BAYANG KEKUASAAN

Artikel terkait : GURU DIBAWAH BAYANG - BAYANG KEKUASAAN


Musibah yang menimpa lautan manusia di Tanah Nusantara ini kian menggurita, baik musibah yang kaitanya dengan alam raya yakni Tsunami, gempa bumi, banjir bandang, tanah longsor maupun yang kaitannya dengan musibah kemanusiaan, gempa yang terjadi di Sumatra barat dan jambi patut untuk di refleksikan ataupun direnungkan oleh seluruh masyarakat Indonesia, agar dikemudian hari rakyat Indonesia lebih peka terhadap persoalan alam dan kemanusiaan demi menyongsong masa depan bangsa yang lebih cerah.
Diskursus kaitan dengan musibah kemanusiaan menggurita pula hingga fenomena Guru (PNS, HONDA dan SUKARELA) menjadi hal yang menarik serta memprihatinkan untuk ditelaah secara kritis, yang merupakan bagian dari konstruksi musibah kemanusiaan yang memoncongkan Dehumanisasi padahal sangatlaah contra produktif dengan nilai idealnya pendidkan. Gerakan politik (political movement) yang dipertautkan dengan rekayasa kekuasaan telah menjadi jebakan bagi para guru untuk terjun atau terlibat secara totalitas dalam politik praktis.
Secara normative atau berdasarkan lndasan konstitusional menjelaskan bahwa pegawai negeri sipil (PNS) harus bersikap netral dalam setiap momentum yang kaitan dengan politik pratis, baik dalam momentum Pemilu, Pilgup, Pilkada, maupun pilkades. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, oleh karena Libido untuk berkuasa oleh elit-elit politik kian menggurita sehingga seluruh variable pun digunakan demi untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan. Hal tersebut memberikan kejelasan bahwa akan digunakan segala macam cara dalam meraih kekuasaan seperti yang diperlihatkan oleh Marchiavely di masa silam. Maka wajar ketika hari ini setiap manusia menjadi Marchiavely-Marchiavely kecil yang setiap saat akan memangsa orang-orang kecil yang tak berdaya atau siapapun yang vis a vis dengannya sehingga guru pun menjadi korban politik kekuasaan.
Dalam catatan sejarah seperti ungkapan Ali Syariati, dibalik bangunan-banguan megah hasil karya lautan manusia dibumi ini terdapat ribuan budak belian yang menjadi korban dan jika kita menganalisis kondisi yang tejadi pada konteks kekinian di balik Tembok kekuasaan atau singganasana kekuasaan Raja-Raja kecil dan kaum borjuis baru ditengah otonomi daerah terdapat lautan masyarakat yang menjadi korban eksploitasi kemanusiaan, maka hal itulah yang dialami Para Guru (PNS, HONDA dan SUKARELA) manakala dihadapkan dengan kekuasaan. Penguasa dengan otoritasnya mengintervensi para Guru demi untuk mempertahankan Statusquonya (Kekuasaan). Hasrat kekuasaan telah membutakan hati para penguasa yang sudah terlampaui larut dengan kekuasaannya.
Pada dasarnya eksistensi para penguasa tidak lepas dari peranserta para guru yang telah mendidik, membimbing dan mencerahkannya sehingga dapat menjadi penguasa. Namun yang dilakukan oleh penguasa adalah jauh panggang dari api dari tujuan subtantif pendidikan dan pencerahan yang telah di transformasikan oleh para Guru. Dalam kerangka idealnya, Guru merupakan patron gerakan, serta contoh tauladan bagi seluruh elemen masyarakat, oleh karena transformasi pengetahuan, transformasi nilai dan sikap ideal (ahlak baik) yang cenderung dimoncongkan. Sikap ideal bagi para Guru adalah sebuah keharusan untuk diinternalisasikan oleh para penguasa serta semua elemen masyarakat dalam dirinya. Sikap ideal itu pula merupakan seperangkat spirit perjuangan Nubuwuah (Nabi) yang merupakan manifestasi pesan ketuhanan demi kemanusiaan. Akan tetapi, manakala dipertautkan dengan kekuasaan, Misi Kenabian yang dimoncongkan dan dilanjutkan oleh para guru bagaikan perihal yang tidak memiliki makna bahkan mungkin hilang ditelan bumi.

Kekuasaan cenderung bahkan telah menggilas kemerdekaan setiap guru, oleh karena tidak bisa menghindar dari politik kekuasaan. Manakala menghindar atau tidak berinisiatif untuk terlibat maka penguasa akan memberikan ancaman. Maka dari itu para guru tidak bisa berbuat apa-apa selain tunduk patuh taat pada perintah atasan yang merupakan penguasa atas dirinya. Dengan Begitu, banyak black note (catatan hitam) kaitan dengan pertautkan guru dengan kekuasaan. Politik kekuasaan dalam pemilihan kepala Daerah (PILKADA)  misalnya, dengan jejaring kekuasaannya mengharuskan para guru untuk memberikan pilihan politik kepada penguasa serta memobilisasi massa yang akan memberikan pilihan politik yang sama. Pemihakan dan penentuan pilihan politik sangatlah mempengaruhi karier atau survive tidaknya tenaga pendidik. Political movement (Gerakan politik) yang dipertontonkan oleh elit-elit politik adalah gerakan politik yang mungkin menurut anggapan kita sangat  klasik yakni “Poltik Balas Jasa” yang dipertontonkan oleh penjajah (Belanda) pada masa silam ditanah Nusantara ini dengan diberlakukannya Politik Etis, walaupun pada akhirnya hal itulah yang memberikan spirit perlawanan bagi generasi muda Indonesia demi untuk memperjuangkan dan meraih kemerdakaan Tanah Air Indonesia yang tercinta Ini.
Penerapan politik balas jasa ala belanda kosekuensi logisnya, bagi pemenang dalam kompetisi politik tersebut akan membagi-bagi kue kekuasaan dan siapa saja yang berada dipihaknya (Pemenang) termasuk para guru akan mendapatkan jatah atau kompensasi politik demi memenuhi janji politik serta sebagai bentuk ucapan terima kasih atas kemenangan. Sebaliknya bagi pihak yang kalah atau para Guru yang memberikan penetuan pilihan politiknya vis a vis dengan pemenang maka imbalan politiknya adalah pertama, tidak mendapatkan jatah kue kekuasaan, kedua, terjadi pemutasian, ketiga mendapatkan tekanan secara politik bahkan kutukan baginya. Pengangkatan jabatan menjadi kepala dinas atau lebih spesifiknya dari guru sukarela menjadi guru honor daerah (Honda), dari guru honor daerah (Honda) menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan seterusnya adalah berdasarkan kebijakan siapa yang menjadi pemenang dalam kompetisi politik atau yang memegang otoritas tertinggi dalam penetuan kebijakan. Sehingga yang tercover dalam struktur birokrasi merupakan orang-orang memiliki keterlibatan secara totalitas dalam berlangsungnya komeptisi politik (PILAKADA) atau orang-orang yang ditunjuk oleh pemegang otoritas tertinggi dalam kaitan dengan kebijakannya.
Berdasarkan beberapa perihal diatas wajah pendidikan menjadi sangat suram dan sangatlah contra productive dengan idelnya konstruksi pendidikan manakala dipertautkan dengan Rekayasa Kekuasaan. Para guru menjadi tumbal politik birokrasi yang ingin meraih serta memepertahankan statusquonya. Varian gerakan birokrasi lebih pada varian gerakan politik yang senatiasa diselubungi oleh berbagai macam kepentingan. Dalam perspektif politik kekuasaan seperti ini “ tidak ada lawan maupun kawan Abadi, yang Abadi hanyalah kepentingan”, jadi kepentingan politik itulah yang menjadi hasrat untuk berkuasa. Setelah merefleksi kaitan dengan politik Etis Belanda yang telah menjajah Tanah Nusantara ini dengan melakukan eksploitasi sumberdaya alam dan eksplotasi kemanusiaan yang pada endingnya adalah munculnya gejolak perlawanan Rakyat demi meraih kemerdekaan. Maka dari itu menakala kita mau atau para guru mau menginternalisasikan spirit para pejuang kemerderkaan dimasa silam maka gejolak perlawanan akan senantiasa terwujud dalam sebuah tindakan nyata demi melawan penindasan, ketidakadilan serta agar dapat meraih kemerdekaan bagi para guru yang selama ini dikrangkeng oleh paradigm kekuasaan.

Birokrasi, pemeriantah, penguasa atau apapun namanya haruslah dilawan manakala mereka menjadi penjajah bagi negerinya sendiri. Bagai mana mungkin peserta didik atau genersi penerus bangsa merdeka dan tercerahkan sementara para Guru sendiri tetap terjajah dan tidak memerdekakan dirinya. Guru kini terjebak pada politik praktis oleh karena kekuasaan, maka sebuah keniscayaan untuk keluar dri hal yang demikian dan melakukan perlawanan agar keluar dari penjajahan ini demi memperbaiki kondisi bangsa.  

Artikel DATA SELULER Lainnya :

0 comments:

Post a Comment

Copyright © 2015 DATA SELULER